Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam buat junjungan kita Nabi besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, ahlul bait, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dengan baik hingga akhir zaman. Amma ba’du,
Bulan Ramadhan Merupakan bulan yang Allah muliakan dari bulan-bulan lainnya. Pada bulan ini banyak keutamaan yang Allah berikan kepada siapa yang mau beribadah kepada-Nya. Diantara keutamaannya yang disebutkan dalam beberapa riwayat yang shahih seperti dilipat gandakannya pahala, dibukanya pintu syurga, ditutupnya pintu neraka, dibelenggunya syaithan dan berbagai keutamaan lainnya.
Selain itu, pada bulan ini diwajibkan bagi kaum muslilmin untuk berpuasa, dan pada malamnya disyari’atkan qiam yang tak kalah utamanya dengan ibadah-ibadah lainnya.
Berangkat dari melihat keutamaan dan kemuliaan bulan nan penuh berkah ini, tidak sedikit dari kaum muslimin yang keliru dalam menyambut bulan ramadahan tersebut. Mereka mempunyai pendapat, keyakinan, dan amalan yang menyalahi sunnah Rasulullah, baik sebelum ramadhan maupun di saat bulan ramadhan itu sendiri. Hal ini terlihat khususnya di daerah Sumatera Barat dan sekitarnya, kaum muslimin banyak melakukan amalan yang bertentangan dalam menyambut bulan ramadhan, diantaranya pengkhususan waktu ziarah kubur menjelang bulan ramadhan, balimau, hura-hura yang dibumbui dengan pesta maksiat, dan amalan bid’ah lainnya (amalan yang tidak ada tuntunannya dari Nabi) yang marak sesuai kondisi daerahnya.
Hal in tentu sangat kita sayangkan dan seharusnya tidak terjadi pada diri kaum muslimin. Karena Rasulullah dan para sahabatnya telah mencontohkan kepada kita umat Islam yang dapat kita pelajari melalui kitab para ulama bagaimana menyambut bulan ramadhan yang sesuai dengan syariat.
A. Penetapan Awal Ramadhan
Penetapan awal bulan ramadhan menurut hadits Nabi adalah dengan melihat bulan (ru’yat), dan jika bulan tidak kelihatan karena mendung atau sebab yang lainnya maka awal ramadhan ditentukan dengan menggenapkan bulan sya’ban menjadi tigapuluh hari, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Berpuasalah karena kalian telah melihatnya (bulan) dan berbukalah karena melihatnya pula. Dan jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian , maka genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari” (HR Bukhori (IV/106) dan Muslim (1081)
Syaikh Salim Bin Ied Al-Hilali megatakan, “sepatutnya umat Islam menghitung bilangan hari bulan sya’ban dalam rangka menyambut datangnya bulan ramdahan, karena bulan itu bisa berjumlah 29 hari dan bisa 30 hari. Dan puasa dilakukan pada saat bulan terlihat. Jika bulan tidak terlihat karena tertutup awan maka bulan sya’ban digenapkan bilangannya menjadi 30 hari , karena Allah pencipta langit dan bumi telah menjadikan bulan sebagai sarana penghitungan waktu agar umat manusia mengetahui jumlah tahun dan perhitungannya. Satu bulan tidak lebih dari tiga puluh hari.
Kemudian Syeikh berdalil dengan hadits Abu Hurairah, dia menceritakan, Rasulullah bersabda : “Berpuasalah karena kalian telah melihatnya (bulan) dan berbukalah karena melihatnya pula. Dan jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian , maka genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari” (HR Bukhori (IV/106) dan Muslim (1081)
Dan dari Abdullah bin umar, Rasulullah bersabda : “janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat bulan dan janganlah kalian berbuka hingga kalian melihatnya dan jika bulan terhalang dari kalian , maka perkirakanlah ia” (HR Bukhori (IV/102) dan Muslim (1080)
Dari ‘Adi bin Hatim , dia bercerita Rasulullah bersabda : ”jika bulan ramadhan tiba, maka berpuasalah tiga puluh hari, kecuali jika kalian melihat bulan sebelum itu” (irwaul ghalil no,901 Syaikh Al-Albani)
B. Larangan Berpuasa Satu Atau Dua Hari Menjelang Ramadhan (Yaum Syak)
Syaikh Salim Bin Ied Al-Hilali mengatakan, “tidak sepatutnya bagi seorang muslim untuk mendahului bulan puasa dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya sebagai upaya kehati-hatian, kecuali dilakukan tepat waktu puasa.
Dari abu hurairah , dia bercerita Rasulullah bersabda : “janganlah kalian mendahului bulan dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika orang itu tengah mengerjakan suatu puasa, maka boleh ia mengerjakannya”. (HR Muslim 573)
Syaikh melanjutkan “ketahuilah saudaraku, bahwa orang yang berpuasa pada hari yang meragukan berarti dia telah durhaka kepada Rasulullah. Shilah bin Zufar, dari Ammar berkata “barang siapa berpuasa pada hari yang meragukan berarti dia telah mendurhakai Abu Qasim (Rasulullah)” (dita’liq oleh Al-Bukhari IV/119 dan lainnya)
C. Jika Ada Orang Yang Sudah Melihat Bulan Maka Berpuasalah Dan Berbukalah
Syaikh Menjelaskan “melihat bulan telah diatur dengan ketetapan harus disaksikan oleh dua orang saksi muslim yang adil, hal ini didasarkan pada sabda nabi ”berpuasalah karena kalian telah melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya pula, serta beribadahlah karena melihatnya, jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian , maka genapkanlah menjadi 30 hari dan jika ada dua orang yang memberi kesaksian (melihat bulan ), maka berpuasa dan berbuka puasalah kalian “ (HR An-Nasai IV/132, dan Ahmad IV/321)
Syaikh menambahkan “bukan rahasia lagi bahwa sekedar menerima kesaksian dua orang dalam suatu kejadian tidak berarti tidak boleh menerima kesaksian satu orang. Oleh karena itu diperbolehkan kesaksian satu orang saja untuk ru’yatul hilal (melihat bulan ). Telah ditegaskan dari Ibnu Umar , dia mengatakan “orang-orang berusaha melihat bulan , lalu aku memberitahukan Nabi bahwa aku telah melihatnya, maka beliaupun berpuasa dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa juga” (HR Abu Dawud no. 2342 dan lainnya)
(lihat kitab shifatu shaumin nabi fii ramadhan (terj.meneladani shaum Rasulullah). Karya syiakh Salim bin Ied Al Hilali dan syaikh Ali Hasan Al-Halabi. Terbitan pustaka imam syafi’ie. Cet-3. hal-53-58)
D. Berpatokan Dengan Kalender (Hisab) Dalam Menetapkan Hilal
Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baaz menjelaskan “bahwa Nabi telah memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk memulai puasa dan mengakhirinya dengan cara melihat hilal dan jika terhalang dari melihat hilal (karena mendung) maka dengan mereka menyempurnakan jumlah bulan menjadi 30 hari. hal ini telah disepakati keshahihannya. Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya kami adalah kaum yang ummy, tidak bisa menulis dan menghitung jumlah bulan (qamariah) adalah begini, begini dan begini (berisyarat dengan tangannya). Beliau melipat ibu jarinya pada hitungan yang ketiga. lalu beliau bersabda lagi : hitungan bulan (qamariyah) adalah begini, begini dan begini)’”. Beliau mengisyaratkan dengan semua jarinya, maksudnya adalah bahwa hitungan bulan itu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari. Dan telah disebutkan dalam shahih Bukhori dari Abu Hurairah , bahwa Nabi bersabda : “berpuasalah karena kalian telah melihatnya (bulan) dan berbukalah karena melihatnya pula. Dan jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian , maka genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari” (HR Bukhori IV/106)
Hadits-hadits tentang masalah ini sangat banyak dan semuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru’yah (melihat hilal) atau meyempurnakan jumlah bulan (menjadi 30) ketika tidak bisa melihat hilal. Dan hadits tadi juga menunjukkan bahwa tidak ada sandaran dan patokan hanya dengan hitungan kalender (hisab) dalam menetapkan puasa.
Dan syaikul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ijma’ (kesepakatan) para ulama tentang tidak bolehnya bersandaran atau berpatokan dengan hisab dalam menetapkan dan menentukan hilal (awal dan akhir bulan). Dan pendapat inilah yang benar dan tidak ada keraguan sedikitpun. Hanya Allah yang memberikan taufiq.” (fatwa syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz dalam fatawa ash-shiyaam (terj. Bekal dibulan ramadhan). disusun oleh Muhammad al-musnid. Penerbit at-tibyan solo. Hal.46-49)
Sedangkan menjawab fenomene perselisihan dalam penetapan awal ramadhan yang kerap terjadi di tengah-tengah kaum muslimin para ulama diantaranya Syeikh Abdul Aziz bin Baz dan Syeikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin berfatwa agar kaum muslimin mengikuti ketentuan dan ketetapan pemerintah di mana ia berada, berdasarkan hadits Nabi : “Berpuasalah kalian dihari mereka (imam) berpuasa dan berbukalah dihari mereka berbuka”. (lihat Fatawa Ramadhan jilid 1)
E. Mempersiapkan Bekal Ilmu Menuju Ramadhan
Pada masa sekarang banyak perkara-perkara ibadah yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang dalam persiapan diri menyambut bulan ramadhan. Sebagaimana syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz jelaskan, “perkara-perkara yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang diantaranya :
a. Bahwa wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakan puasa karena iman dan pahala dari Allah, bukan karena ria (mengharap pujian orang lain) dan sum’ah (supaya didengar orang). Dan bukan pula karena taqlid (ikut-ikutan tanpa dasar dalil)
b. tidak mengetahui hal-hal yang membatalkan dan yang tidak membatalkan puasa
c. tidak tuma’ninah dalam melaksanakan shalat wajib dan sunnat
d. mengakhirkan mandi wajib (janabah) sampai terbit matahari.
e. tidak melaksanakan shalat sunat tarawih bersama imam. Rasulullah pernah bersabda : “sesungguhnya apabila seseorang melakukan shalat bersama imam sampai selesai bersamanya maka Allah akan menulis baginya pahala shalat satu malam penuh” ( fatwa syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz dalam fatawa ash-shiyaam (terj. Bekala dibulan ramadhan). disusun oleh Muhammad al-musnid. Penerbit at-tibyan solo. Hal.33-43)
Selain itu tentunya seorang muslim harus meniatkan ikhlas dan ittiba’ dengan berilmu yang berkaitan seputar pelaksanaan ibadah pada bulan ramadhan, seperti rukun puasa, syarat sah puasa, sunnah puasa, yang makruh dalam puasa, hingga hal–hal yang membatalkan puasa, amalan–amalan pada bulan ramadhan, sehingga amalannya diterima Allah dan dibalas berlipat ganda.
F. Menghindari Amalan-amalan Bid’ah
Satu hal yang menodai bulan ramadahan, yaitu munculnya amalan bid’ah dan menyebarnya pengamalan hadits dhaif dan palsu yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin, karena sudah turun menurun dilakukan mereka beranggapan bahwa hal tersebut baik dan bagian dari agama, maka salah satu cara syetan menghalangi kebaikan bulan ini yaitu dengan menyebarnya amalan tersebut. Para pelakunya merasa dekat kepada Allah padahal mereka semakin jauh darinya. Yang paling menyedihkan, amalan-amalan tersebut menjamur pada bulan ramdahan. Diantaranya :
a. bid’ah perayaan malam khatam al-quran yakni berdo’a dengan suara keras secara berjamaah maupun sendiri-sendiri setelah menghkatamkan al-quran.
b. bid’ah tashir yaitu membangunkan orang untuk makan sahur dengan berteriak-teriak, melalui microfon, atau dengan alat lainnya,
c. bid’ah perayaan nuzulul quran yaitu perayaan yang dilakukan pada tanggal 17 ramadhan. Padahal amalan ini tidaklah bersumber dari Islam dan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Jika perayaan ini baik (sunnah) tentu para sahabatlah yang pertama kali melakukannya. Akan tetapi tidak satu riwayatpun yang menjelaskan hal ini.
d. bid’ah melafazkan niat “nawaitu shauma gahdin..”dst
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya zaadul maad menjelaskan “tidak ada satu pun riwayat yang shahih maupun yang dhaif dari Rasulullah dan para sahabat mupun tabiin , bahwa mereka melafazkan niat”.
e. bid’ah dzikir berjamah dengan suara keras di sela-sela shalat tarawih. (lihat kitab al-Madkhal, karya Ibnul Haj 11/293-294).
f. bid’ahnya ucapan muadzin sebelum memulai shalat tarawih atau disela-sela shalat tarawih “shalaltut-tarawih jami’ata rahimakumullah”
g. bid’ah pengkhususan waktu ziarah kubur menjelang bulan ramadhan.
Ziarah kubur pada asalnya bukanlah terlarang bahkan termasuk anjuran Rasulullah dalam rangka mengingat kematian. namun, yang terlarang adalah pengkhususan waktu tersebut yang membutuhkan dalil yang shahih.
h. Bid’ah balimau yang marak terjadi di beberapa daerah. Hal ini tidaklah pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat dan generasi terbaik umat ini dalam rangka pembersihan diri untuk menyambut bulan ramadhan. Apalagi yang kita sayangkan acara balimau ini ditambah lagi dengan hura-hura, pesta maksiat dan bentuk dosa lainnya.
Demikianlah beberapa bid’ah yang sering terjadi menjelang dan pada bulan ramadhan, dan sebenarnya masih banyak lagi bentuk bid’ah lainnya, yang tidak mungkin kita sebutkan satu persatu. Hendaklah kaum muslimin dapat menghindari amalan-amalan bidah tersebut, agar bulan ramadhan yang suci tidak ternodai.
Perdinan Tanjung
Referensi :
1. kitab fatawa ash-shiyam (terj. Bekal dibulan ramadhan). Karya syaikh Muhammad al-musnid. Penerbit at-tibyan solo.
2.kitab shifatu shaumin nabi fii ramadhan (terj.meneladani shaum rsulullah). Karya syaikh salim bin ied al-hilali dan syaikh ali hasan al-halabi. Terbitan pustaka imam syafi’ie Bogor. Cet III
3. buku renungan ramadhan. Karya ustadz abu ihsan al-atsari.penerbit at-tibyan solo
4. kitab zaadul maad (trj.). karya ibnu qayyim al-Jauziyah. Penerbit griya ilmu.cetakan I.
5. majalah nikah. Volume.5, no.6.September 2006.
6. Kitab Fataawa Ramadhan
Currently have 0 komentar: