SEBAB-SEBAB TERJADINYA KESYIRIKAN ( Buletin Istiqomah edisi 1 tahun ke-5, 1431 H )
Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, Allahlah tempat bergantung segala sesuatu, tidak beranak dan tidak juga diperanakkan, serta tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. Shalawat dan salam buat junjungan alam yakni Nabi besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Memahami sebab-sebab terjadinya kesyirikan adalah perkara yang sangat penting, agar kita dapat menjauhkan diri darinya, sebab kesyirikan adalah dosa yang paling besar. Karena Allah telah mengabarkan dalam firman-Nya bahwa orang yang melakukan kesyirikan maka akan diharamkan baginya syurga dan Allah tidak akan mengampuni dosa syirik jika pelakunya tidak bertobat. Sehingga seorang muslim seharusnya berhati-hati dan sangat takut untuk terjerumus kepadanya. Bahkan Rasulullah sendiri selalu memohon perlindungan kepada Allah dari kesyirikan dalam do’a yang beliau panjatkan : “Ya Allah, sesungguhnya aku berselindung kepada-Mu dari perbuatan syirik sedang aku mengetahuinya dan aku memohon ampun kepada-Mu dari yang tidak aku ketahui”. (HR. Ahmad 4/403 dan lihat Shahih Al-Jami’ 3/233)
Pada dasarnya penyebab timbulnya kesyirikan sangat banyak sekali, dan pada pembahasan singkat ini kita berusaha menyebutkan pokok-pokoknya yang kemudian dari pokok inilah menjadi bercabang, diantara pokok-pokok tersebut adalah :
1) Berlebih-lebihan dalam memuji Rasul atau memuji orang shaleh.
Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah memperingatkan akan hal itu dalam sabda beliau :
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa anak Maryam, sesungguhnya saya hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah hamba Allah dan rasul-Nya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika berlebih-lebihan dalam memuji Nabi adalah sesuatu yang terlarang, tentu lebih terlarang lagi jika berlebihan dalam memuji selain beliau dari orang-orang shaleh atau yang lainnya. Dan hal inilah yang merupakan penyebab kesyirikan pertama dalam kehidupan umat manusia, yaitu pada umat Nabi Nuh ‘Alaihissalam, sebagaimana yang diceritakan Allah dalam firman-Nya :
“Dan mereka berkata ; Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kami meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nashr”. (QS. Nuh : 23)
Ibnu Abas ketika menafsirkan ayat ini mengatakan : Kelima nama ini adalah nama orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam. Maka tatkala mereka (orang-orang shaleh) itu wafat, syetan mempengaruhi kaum Nabi Nuh agar membuat patung-patung mereka di majelis yang biasa mereka duduk padanya dalam rangka mengingat orang-orang shaleh tersebut, dan syetan juga mempengaruhi mereka agar memberikan nama patung tersebut sesuai dengan nama orang-orang shaleh itu, maka merekapun melakukannya. Ketika itu patung-patung itu belum disembah. Akan tetapi ketika orang-orang yang membuat patung tersebut meninggal dunia dan ilmu agama telah hilang maka patung-patung itupun disembah. (HR. Bukhari 8/667 dan lihat tafsir Ibnu Katsir)
Berlebih-lebihan dalam memuji Rasul atau orang-orang shaleh adalah dengan menempatkan mereka sejajar dengan Allah, baik dalam pujian ataupun keyakinan akan sifat dan ilmu mereka, beristighatsah (meminta perlindungan) kepada mereka ketika tertimpa bencana, tawaf dikuburan mereka, tabarruk (mencari berkah) dari kuburan atau barang-barang peninggalan mereka, bertawassul (menjadikan perantara) dengan mereka dalam do’a, menyembelih di kuburan-kuburan mereka dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada mereka, berdo’a dan meminta tolong kepada mereka padahal mereka telah meninggal dunia dan lain sebagainya.
Sebagian orang mengatasnamakan perbuatan-perbuatan tersebut sebagai wujud kecintaan kepada Nabi atau orang-orang shaleh dan ini adalah anggapan yang keliru lagi menyesatkan, justru perbuatan ini adalah kesyirikan yang sangat nyata yang telah diperingatkan Allah dan rasul-Nya.
Mencintai Nabi dan orang shaleh pada hakikatnya adalah sesuai dengan apa yang telah diajarkan Al-Quran dan Sunnah serta apa yang telah dicontohkan oleh para salafus-Shaleh, yaitu dengan mengetahui keutamaan-keutamaan mereka dan mencontoh mereka dalam amal shaleh, tanpa meremehkan atau berlebih-lebihan terhadap mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a ; Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha penyayang”. (QS. al-Hasyr : 10)
2) Ta’ashshub (fanatisme) terhadap tradisi dan peninggalan nenek moyang, walaupun itu bathil dan bertentangan dengan yang hak khususnya dalam masalah aqidah.
Allah berfirman dalam Al-Quran :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab , (tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk”. (QS. al-Baqarah : 170)
Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman :
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorangpun sebagai pemberi peringatan dalam suatu negeri melainkan orang-orang yang hidup mewah (para pembesar) di negeri itu berkata ; Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah mengikuti jejak-jejak mereka”. (QS. az-Zukhruf : 23)
Hal inilah yang tertanam pada diri kaum musyrikin dari zaman dahulu sampai sekarang, dimana mereka sangat fanatik kepada peninggalan dan adat istiadat nenek moyang, dan karena itu mereka tidak segan-segan untuk berpaling dan menepis kebenaran yang bersumberkan kepada Al-Quran dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan ada juga diantara mereka yang menyalahkan kebenaran tersebut dengan berbagai dalih dan sebutan, seperti aliran baru, menyelisihi tradisi, memecah belah umat, membuat resah dan sebagainya.
Sehingga kita akan menemukan kisah para nabi dan rasul dalam al-Quran, dalam menghadapi kaum mereka sering berhadapan dengan orang-orang yang berwatak seperti ini, seperti kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam dengan kaumnya dalam surat Al-Mukminun : 23 dan 24, kaum Nabi Shaleh dalam surat Hud : 62, kaum Nabi Ibrahim dalam surat as-Syura : 73, kaum musyrikin jahiliyah dalam surat Shad : 6 dan 7 serta kisah-kisah yang lainnya.
Maka, sudah sewajarnya para ulama dan para da’i yang menyeru umat kepada risalah tauhid juga akan mengalami hal yang serupa, akan mendapat tantangan dan kecaman dari orang-orang yang begitu fanatik kepada peninggalan dan ajaran nenek moyang kendatipun hal tersebut bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Dan dari kefanatikan inilah akhirnya timbul sikap menentang dan berpaling dari kebenaran yang kemudian akan berujung kepada kesyirikan.
Mungkin saja alasan mereka untuk tetap pada ajaran nenek moyang walaupun bertentangan dengan kebenaran adalah karena rasa penghormatan kepada leluhur dan sesepuh mereka, sehingga jika kita tidak menjalankan seperti apa yang ada pada mereka seolah-olah ada rasa penentangan dan meremehkan mereka, bukankah dalam Islam kita diperintahkan untuk patuh dan menghormati orang tua ?
Dalih ini mungkin dapat kita jawab dengan firman Allah Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan rasul-Nya, dan bertaqwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Hujurat : 1)
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Tiga hal yang jika ada pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman, hendaklah Allah dan rasul-Nya lebih ia cintai dari yang lainnya ……”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan sabda beliau :
“Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta”. (HR. Muslim)
Dari ayat dan hadits di atas jelaslah bagi kita bahwa barometer dalam kebenaran yang mesti kita ikuti adalah Allah dan rasul-Nya, bukan perasaan dan hawa nafsu, sekaligus menunjukkan kebathilan dalih dan alasan yang mereka kemukan.
3) Kebodohan terhadap aqidah yang benar.
Keengganan untuk mempelajari atau mengajarkan aqidah yang benar atau sangat sedikitnya perhatian terhadapnya, maka akan melahirkan generasi yang tidak mengenal aqidah yang benar tersebut serta tidak menyadari kedudukannya dalam kehidupan mereka, atau mereka tidak lagi mengetahui hal-hal yang menyelisihinya dan membatalkannya. Sehinga pada akhirnya mereka tidak lagi dapat membedakan yang hak dengan yang bathil, atau bahkan meyakini yang bathil itu hak dan yang hak itu adalah suatu kebathilan, Allahul Musta’an.
Amirul mukminin Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu pernah mengatakan bahwa : Sesungguhya nilai-nilai keislaman itu akan dicabut sedikit demi sedikit, jika di dalam Isla tumbuh dan berkembang orang-orang yang tidak mengenal jahiliyah.
Oleh karena itu agama kita mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu dan memberantas kebodohan, mengenal yang hak agar mereka dapat mengikutiya sekaligus mengetahui yang bathil agar mereka dapat membentengi diri darinya.
Maka kebodohan adalah awal dari kebinasaan, karena kebodohan seseorang akan jauh dari jalan Allah, karena kebodohan seseorang akan berpaling dari agama Allah, karena kebodohan seseorang akan terjerumus dalam kemaksiatan dan dosa, karena kebodohan seseorang akan tenggelam dalam kesyirikan, karena kebodohan ….., karena kebodohan …
Mungkin seseorang akan mengatakan : bukankah Allah tidak menghukum seseorang jika ia bodoh (tidak mengetahui) ? Kita bias menjawabnya dengan mengatakan : Benar, tetapi bukankah Allah dan rasul-Nya memerintahkan kita untuk tau. Apa yang anda katakan benar adanya jika anda telah berusaha, namun jika hal tersebut setelah ada usaha atau berada di luar kemampuan anda, karena Allah berfirman : “Allah tidak membebani kecuali apa yang mereka mampu untuk memikulnya” (QS. al-Baqarah : 286)
Dan lihatlah bagaimana Allah kelak akan membantah apa yang diungkapkan oleh orang-orang yang beralasan bahwa mereka telah dibodohi oleh nenek moyang mereka sementara mereka tidak tahu, sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-A’raf : 38.
Inilah beberapa sebab pokok yang menyebabkan timbulnya kesyirikan yang telah diperingatkan oleh Allah dan rasul-Nya kepada kita semua agar kita dapat menjauhinya dalam kehidupan kita, karena kesyirikan tersebut adalah dosa besar yang dapat membuat seseorang keluar dari agama Islam dan menjadikan pelakunya kekal di dalam api neraka, Nas-alullah as-Salamah Wal ‘Afiyah.
Abu Thohir, Lc
Maraji’ :
Al-Quran dan hadits.
Al-Irsyad Ila Shahih Al-I’tiqad, Syeikh Sholeh Fauzan Al-Fauzan.
At-Ta’liqat ‘Ala Kasyf Asy-Syubuhat, Syeikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin.
Hadzihi MAfahimuna, Syeikh Abdul Aziz Alu Syeikh
Currently have 0 komentar: